PALANGKA RAYA – Keputusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia menghentikan sementara kegiatan 31 perusahaan tambang dan batu bara di Kalimantan Tengah (Kalteng) menuai tanggapan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.
Dewan meminta pemerintah pusat menjelaskan secara terbuka alasan penghentian dan langkah tindak lanjut agar tidak menimbulkan kebingungan serta dampak sosial di lapangan.
Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalteng, Bambang Irawan, mengatakan bahwa pihaknya telah menjadwalkan pertemuan dengan Kementerian ESDM untuk memperoleh informasi resmi terkait dasar kebijakan tersebut.
Langkah itu, menurutnya, penting agar pemerintah daerah dan masyarakat memahami kondisi sebenarnya, terutama karena sektor tambang masih menjadi tumpuan ekonomi bagi ribuan tenaga kerja di Kalteng.
“Dampaknya tidak kecil. Banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas tambang, baik sebagai karyawan maupun pelaku usaha kecil di sekitar wilayah operasi. Karena itu, kami ingin mendapatkan penjelasan langsung dari Kementerian ESDM agar tidak terjadi salah persepsi,” ujarnya di Palangka Raya, baru baru ini.
Bambang menjelaskan, penghentian sementara ini diduga terkait belum dipenuhinya kewajiban jaminan reklamasi dan pascatambang oleh sejumlah perusahaan.
Padahal, kewajiban tersebut merupakan bentuk tanggung jawab atas dampak lingkungan yang diatur dalam PP Nomor 78 Tahun 2010 dan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2018.
“Masalah reklamasi dan rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) tidak bisa diabaikan. Ini menyangkut keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat di sekitar wilayah tambang,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyebut DPRD akan mendorong peningkatan sinergi antara pemerintah provinsi, kabupaten, dan kementerian dalam mengawasi operasional tambang di Kalteng.
Pengawasan yang konsisten dinilai sebagai langkah pencegahan agar kasus serupa tidak terus berulang.
“Kami berharap ada sistem pengawasan terpadu yang tidak hanya menekankan pada produksi, tetapi juga memastikan tanggung jawab sosial dan lingkungan benar-benar dijalankan,” kata Bambang.
Ia juga menyoroti perlunya kejelasan status perusahaan yang terdampak kebijakan tersebut.
Menurutnya, daftar 31 perusahaan yang dihentikan perlu diumumkan secara resmi agar publik mengetahui mana yang benar-benar terkena sanksi dan mana yang masih beroperasi dengan izin sah.
“Kejelasan data ini penting. Tanpa itu, bisa timbul kesimpangsiuran di masyarakat dan bahkan menghambat iklim investasi yang sehat,” ujarnya.
Bambang berharap pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan selalu mempertimbangkan keseimbangan antara penegakan aturan dan kepentingan ekonomi daerah.
Ia menilai, penghentian sementara bisa menjadi momentum bagi perusahaan untuk memperbaiki kepatuhan mereka terhadap regulasi lingkungan.
“Kami mendukung langkah penegakan aturan, tetapi juga mengingatkan agar pengawasan disertai pembinaan. Dengan begitu, perusahaan dapat segera memenuhi kewajibannya tanpa harus mengorbankan nasib pekerja maupun pendapatan daerah,” tutupnya. (*)