PALANGKARAYA – Gemuruh semangat pelestarian budaya menggema di Hotel Bahalap Palangka Raya, saat Balai Bahasa dan Budaya Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah menggelar Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI), Senin (3/11/2025).
Acara tahunan ini menjadi momentum penting bagi generasi muda untuk menumbuhkan rasa bangga menggunakan bahasa daerah serta memperkuat identitas kultural masyarakat Kalimantan Tengah.
Festival tersebut mempertandingkan 10 bahasa daerah, di antaranya Dayak Ngaju, Ma’anyan, Ot Danum, Bakumpai, Katingan, Siang, Melayu Kotawaringin, Melayu Sukamara, Taboyan, dan Sampit.
Asisten Administrasi Umum Sekretariat Daerah Kalteng, Sunarti, menyampaikan apresiasinya atas terselenggaranya kegiatan yang dinilai mampu memperkuat akar budaya di tengah gempuran budaya global.
“Kita semua berusaha semaksimal mungkin agar budaya kita tidak hilang begitu saja, tetapi terlindungi, lebih kuat, dan lebih bermanfaat,” ujar Sunarti. Senin (3/11/2025).
Ia mengungkapkan bahwa pemerintah telah menegaskan komitmen pelestarian bahasa daerah melalui Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 3 Tahun 2022. Menurutnya, bahasa daerah tidak hanya bagian dari komunikasi, melainkan juga sarana memperkokoh nilai kebangsaan.
“Semoga melalui kegiatan revitalisasi ini, eksistensi bahasa daerah dapat kembali bangkit dan semakin digemari oleh generasi muda di Kalteng,” harapnya.
Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu turut diikuti oleh 225 peserta dari 12 kabupaten/kota. Mereka bersaing dalam berbagai kategori lomba bahasa, sastra, dan seni berbasis budaya daerah.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Palangka Raya, Jayani, mengatakan bahwa anak-anak peserta dari Palangka Raya sangat antusias mengikuti kegiatan ini.
“Anak-anak sangat bersemangat sekali mengikuti lomba ini dan optimis bisa memenangkannya. Pada perlombaan ini, Palangka Raya mengikuti kategori kultur bahasa Dayak Ngaju. Kita menargetkan mampu meraih juara umum,” ujar Jayani.
Ia menambahkan, festival ini bukan sekadar ajang kompetisi, melainkan ruang pembelajaran berharga bagi pelajar untuk mencintai bahasa dan budaya lokal.
“Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi? Bahasa ibu adalah identitas, dan melalui festival ini kita membuktikan bahwa bahasa daerah masih hidup dalam hati generasi muda,” tandas Jayani. (Red/Adv)











