Warga Keluhkan Status Lahan Berubah Jadi Kawasan Hutan, DPRD Barito Utara Minta Pemerintah Bertindak

  • Share

MUARA TEWEH – Polemik status lahan antara kawasan hutan dan lahan milik masyarakat kembali mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar DPRD Kabupaten Barito Utara, Senin (6/10/2025).

Rapat yang berlangsung di ruang sidang utama DPRD tersebut dipimpin oleh Ketua Komisi II, Taufik Nugraha, didampingi Ketua Komisi III, Tajeri, serta Ketua Fraksi Aspirasi Rakyat, Hasrat.

Kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan Kantor Pertanahan (BPN) Barito Utara, Dinas PUPR, dan para camat se-kabupaten.

Dalam rapat itu, sejumlah anggota dewan menyoroti keluhan masyarakat terkait perubahan status lahan yang telah mereka kelola selama bertahun-tahun.

Banyak warga yang secara turun-temurun menempati lahan dengan dasar adat maupun sertifikat resmi, kini mendapati wilayahnya termasuk dalam kawasan hutan produksi.

Anggota DPRD Barito Utara, Hasrat, mengungkapkan bahwa persoalan ini telah lama menjadi sumber keresahan di masyarakat.

“Banyak warga tidak mengetahui batas antara APL, HPK, dan hutan produksi. Bagi mereka, yang membuka dan mengelola lahan pertama kali, itulah pemiliknya menurut adat,” ujarnya.

Ia mencontohkan, kasus di Desa Jamut menjadi salah satu contoh nyata. Warga desa tersebut telah lama memiliki sertifikat tanah yang diterbitkan pemerintah daerah, namun belakangan wilayah itu dinyatakan masuk kawasan hutan produksi berdasarkan keputusan baru.

“Dulu statusnya APL, sehingga bisa disertifikatkan. Tapi setelah ada SK baru, malah berubah jadi kawasan hutan produksi. Ini membuat masyarakat bingung dan dirugikan,” kata Hasrat.

Selain berdampak pada kepemilikan lahan, kondisi tersebut juga mempersulit pelaksanaan pembangunan dan pembayaran ganti rugi lahan yang terdampak proyek.

“Banyak warga sudah puluhan tahun tinggal di sana. Tapi ketika lahannya terkena proyek, tidak bisa diganti rugi karena statusnya kawasan hutan. Ini jelas tidak adil,” ujarnya.

Hasrat mendesak pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah nyata dalam menyelesaikan persoalan ini.

Ia menilai, program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) bisa menjadi jalan keluar jika dijalankan secara tepat dan melibatkan semua pihak.

“Pemerintah desa bisa mendata, kecamatan memverifikasi, lalu kabupaten menyampaikan hasilnya ke KLHK. Dengan begitu, masyarakat mendapat kepastian hukum tanpa menyalahi aturan kehutanan,” pungkasnya.​

+ posts
  • Share
.